Struktur Sosial
Tujuan Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, kamu diharapkan mampu:
- Menjelaskan definisi struktur sosial
- Mengidentifikasi struktur sosial
- Mendeskripsikan fungsi dan bentuk-bentuk struktur sosial
A. Definisi Struktur Sosial
Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal.
Para ahli sosiologi merumuskan definisi struktur sosial sebagai berikut:
v George Simmel: struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya.
v George C. Homans: struktur sosial merupakan hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari.
v William Kornblum: struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu.
v Soerjono Soekanto: struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi dan peranan-peranan sosial.
B. Ciri-ciri Struktur Sosial
1. Muncul pada kelompok masyarakat
Struktur sosial hanya bisa muncul pada individu-individu yang memiliki status dan peran. Status dan peranan masing-masing individu hanya bisa terbaca ketika mereka berada dalam suatu sebuah kelompok atau masyarakat.
Pada setiap sistem sosial terdapat macam-macam status dan peran indvidu. Status yang berbeda-beda itu merupakan pencerminan hak dan kewajiban yang berbeda pula.
2. Berkaitan erat dengan kebudayaan
Kelompok masyarakat lama kelamaan akan membentuk suatu kebudayaan. Setiap kebudayaan memiliki struktur sosialnya sendiri. Indonesia mempunyai banyak daerah dengan kebudayaan yang beraneka ragam. Hal ini menyebabkan beraneka ragam struktur sosial yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Hal-hal yang memengaruhi struktur sosial masyarakat Indonesia adalah sbb: a. Keadaan geografis
Kondisi geografis terdiri dari pulau-pulau yang terpisah. Masyarakatnya kemudian mengembangkan bahasa, perilaku, dan ikatan-ikatan kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
b. Mata pencaharian
Masyarakat Indonesia memiliki mata pencaharian yang beragam, antara lain sebagai petani, nelayan, ataupun sektor industri.
c. Pembangunan
Pembangunan dapat memengaruhi struktur sosial masyarakat Indonesia. Misalnya pembangunan yang tidak merata antra daerah dapat menciptakan kelompok masyarakat kaya dan miskin.
3. Dapat berubah dan berkembang
Masyarakat tidak statis karena terdiri dari kumpulan individu. Mereka bisa berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Karenanya, struktur yang dibentuk oleh mereka pun bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
C. Fungsi Struktur Sosial
1. Fungsi Identitas
Struktur sosial berfungsi sebagai penegas identitas yang dimiliki oleh sebuah kelompok. Kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan dalam latar belakang ras, sosial, dan budaya akan mengembangkan struktur sosialnya sendiri sebagai pembeda dari kelompok lainnya.
2. Fungsi Kontrol
Dalam kehidupan bermasyarakat, selalu muncul kecenderungan dalam diri individu untuk melanggar norma, nilai, atau peraturan lain yang berlaku dalam masyarakat. Bila individu tadi mengingat peranan dan status yang dimilikinya dalam struktur sosial, kemungkinan individu tersebut akan mengurungkan niatnya melanggar aturan. Pelanggaran aturan akan berpotensi menibulkan konsekuensi yang pahit.
3. Fungsi Pembelajaran
Individu belajar dari struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Hal ini dimungkinkan mengingat masyarakat merupakan salah satu tempat berinteraksi. Banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah struktur sosial masyarakat, mulai dari sikap, kebiasaan, kepercayaan dan kedisplinan.
D. Bentuk Struktur Sosial
Bentuk struktur sosial terdiri dari stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Masing-masing punya ciri tersendiri.
1. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi berasal dari kata strata atau tingkatan. Stratifikasi sosial adalah struktur dalam masyarakat yang membagi masyarakat ke dalam tingkatan-tingkatan.
Ukuran yang dipakai bisa kekayaan, pendidikan, keturunan, atau kekuasaan. Max Weber menyebutkan bahwa kekuasaan, hak istimewa dan prestiselah yang menjadi dasar terciptanya stratifikasi sosial.
Adanya perbedaan dalam jumlah harta, jenjang pendidikan, asal-usul keturunan, dan kekuasaan membuat manusia dapat disusun secara bertingkat. Ada yang berada di atas, ada pula yang menempati posisi terbawah.
Berdasarkan sifatnya, stratifikasi sosial dapat dibagi menjadi 2:
1. Stratifikasi Sosial Tertutup
Adalah stratifikasi sosial yang tidak memungkinkan terjadinya perpindahan posisi (mobilitas sosial)
2. Stratifikasi Sosial terbuka
Adalah stratifikasi yang mengizinkan adanya mobilitas, baik naik ataupun turun. Biasanya stratifikasi ini tumbuh pada masyarakat modern.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial:
a. Mobilitas Sosial Horizontal
Di sini, perpindahan yang terjadi tidak mengakibatkan berubahnya status dan kedudukan individu yang melakukan mobilitas.
b. Mobilitas Sosial Vertikal
Mobilitas sosial yang terjadi mengakibatkan terjadinya perubahan status dan kedudukan individu.
Mobilitas sosial vertikal terbagi menjadi 2:
#Vertikal naik
Status dan kedudukan individu naik setelah terjadinya mobilitas sosial tipe ini.
#Vertikal turun
Status dan kedudukan individu turun setelah terjadinya mobilitas sosial tipe ini.
c. Mobilitas antargenerasi
Ini bisa terjadi bila melibatkan dua individu yang berasal dari dua generasi yang berbeda.
c. Stratifikasi Sosial Campuran
Hal ini bisa terjadi bila stratifikasi sosial terbuka bertemu dengan stratifikasi sosial tertutup. Anggotanya kemudian menjadi anggota dua stratifikasi sekaligus. Ia harus menyesuaikan diri terhadap dua stratifikasi yang ia anut.
Menurut dasar ukurannya, stratifikasi sosial dibagi menjadi:
a. Dasar ekonomi
Berdasarkan status ekonomi yang dimilikinya, masyarakat dibagi menjadi:
1) Golongan Atas
Termasuk golongan ini adalah orang-orang kaya, pengusaha, penguasan atau orang yang memiliki penghasilan besar.
2) Golongan Menengah
Terdiri dari pegawai kantor, petani pemilik lahan dan pedagang.;
3) Golongan Bawah
Terdiri dari buruh tani dan budak.
b. Dasar pendidikan
Orang yang berpendidikan rendah menempati posisi terendah, berturut-turut hingga orang yang memiliki pendidikan tinggi.
c. Dasar kekuasaan
Stratifikasi jenis ini berhubungan erat dengan wewenang atau kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang. Semakin besar wewenang atau kekuasaan seseorang, semakin tinggi strata sosialnya. Penggolongan yang paling jelas tentang stratifikasi sosial berdasarkan kekuasaan terlihat dalam dunia politik.
Dampak adanya stratifikasi sosial:
a. Dampak Positif
Orang yang berada pada lapisan terbawah akan termotivasi dan terpacu semangatnya untuk bisa meningkatkan kualitas dirinya, kemudian mengadakan mobilitas sosial ke tingkatan yang lebih tinggi.
b. Dampak Negatif
Dapat menimbulkan kesenjangan sosial
B. Diferensiasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, diferensiasi sosial adalah penggolongan masyarakat atas perbedaan-perbedaan tertentu yang biasanya sama atau sejajar. Jenis diferensiasi antara lain:
a. Diferensiasi ras
Ras adalah su8atu kelompok manusia dengan ciri-ciri fisik bawaan yang sama. Secara umum, manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok ras, yaitu Ras Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid. Orang Indonesia termasuk dalam ras Mongoloid.
b. Diferensiasi suku bangsa
Suku bangsa adalah kategori yang lebih kecil dari ras. Indonesia termasuk negara dengan aneka ragam suku bangsa yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga papua.
c. Diferensiasi klen
Klen merupakan kesatuan keturunan, kepercayaan, dan tradisi. Dalam masyarakat Indonesia terdapat 2 bentuk klen utama, yaitu:
a. Klen atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal)
Contohnya yang terdapat pada masyarakat Minangkabau.
b. Klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal)
Contohnya yang terdapat pada masyarakat Batak.
d. Diferensiasi agama
Di Indonesia kita mengenal agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu, dan kepercayaan lainnya.
e. Diferensiasi profesi
Masyarakat biasanya dikelompokkan atas dasar jenis pekerjaannya.
f. Diferensiasi jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, masyarakat dibagi atas laki-laki dan perempuan yang memiliki derajat yang sama.
Sumber: Alam S& Henry H, 2008, Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMK dan MAK Kelas XI, Jakarta: Erlangga
Mengembalikan Integrasi Nasional Dengan Nasionalisme Tanpa Sifat Kedaerahan
Mengembalikan Integrasi Nasional - Oleh : Yuhelmi Indra
Persatuan dan kesatuan terasa begitu sangat indah. Dilihat dari kata-katanya saja kita bisa membayangkan kehidupan di dalamnya akan sangat penuh dengan kebahagian, ketenangan dan saling bersatu. Inilah yang selalu di dambakan dan diimpikan oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Integrasi nasional yang dimaksud disini adalah kesatuan dan persatuan negara. Melihat keadaan dan kondisi dari Indonesia dewasa ini, integrasi nasional tidak bisa diwujudkan dengan mudah atau seperti membalikkan telapak tangan, ini semua disebabkan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Dilihat dari sejarah Indonesia, sebelum atau pra-kemerdekaan, bangsa Indonesia sangat bersatu baik dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun dalam mempertahankan identitas nasionalnya. Sumpah pemuda yang dikumandangkan oleh para pemuda dan pemudi Indonesia mencerminkan bahwa persatuan dan kesatuan itu merupakan suatu tujuan mutlak untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia akhirnya tercapai yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. setelah kemerdekaan dikumandangkan keseluruh pelosok Indonesia, disusunlah UUD Negara dan Dasar Negara, dimana di dalamnya dicantumkan dengan jelas kata-kata persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan tersebut memang terwujud karena pada saat itu persatuan dan kesatuan itu memang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Melihat Indonesia sekarang ini, akan timbul sebuah pertanyaan besar, apakah masih ada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sekarang ini?. Pertanyaan ini bisa dijawab oleh diri kita masing-masing, apakah kita benar telah melaksanakan dan mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan tersebut.
Menurut pengamatan yang saya lihat di dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia sekarang ini, rasa persatuan dan kesatuan Indonesia bisa dikatakan tidak ada, kita lebih mementingkan kepentingan individu dari pada kepentingan bersama sebagai wujud bahwa kita negara yang benar-benar bersatu.
Contohnya bahwa persatuan dan kesatuan itu tidak ada dapat kita lihat di dalam masyarakat. Paratai-partai politik yang terdapat di Indonesia sangatlah banyak, partai-partai itu saling berebut untuk mendapatkan posisi yang paling tinggi dengan cara apapun, dari sini bisa memicu suatu perkelahian massa yang sangat banyak. Misalnya satu partai melaksanakan kampanye disuatu daerah, kemudian di daerah tersebut pendukung partai ini bisa dikatakan hanya sepertiga dari masyarakat di daerah itu, maka bila ada pendukung partai itu melakukan suatu kegiatan yang dipandang oleh masyarakat sangat tidak menyenangkan maka akan terjadi perkelahian massa yang akan menimbulkan korban.
Tidak hanya itu saja sifat kedaerahan yang kita anut juga sebenarnya adalah penyebab dari tidak terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa di dalam diri kita. Kita hanya selalu membanggakan daerah kita masing-masing, selalu hanya membela daerah kita apabila ada masalah, tapi apabila negara kita dalam masalah kita hanya bisa mengatakan bahwa itu urusan pemerintah, ini yang salah pada diri kita, urusan negara bukan hanya urusan pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia.
Hilangkanlah rasa kedaerahan yang sangat melekat dalam diri kita, jangan hanya kita berbangga menjadi penduduk suatu daerah tetapi berbanggalah bahwa kita adalah bangsa Indonesia, janganlah masalah bangsa Indonesia kita tumpahkan hanya kepada pemerintah tetapi pikullah masalah itu dan jadikan sebagai masalah kita bersama, karena dengan bersama kita bisa menyelesaikannya.
Kebersamaan yang kita bangun dan rasa nasionalisme yang kita junjung tinggi dalam diri kita masing-masing, ini merupakan suatu jalan untuk mengembalikan integrasi nasional kita dan memajukan Indonesia itu sendiri. Dengan kemajuan bagi Indonesia maka kita sebagai masyarakat yang hidup di dalam negara Indoneisa ini juga akan menjadi masyarakat yang maju dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang utuh.
Struktur Kepartaian dan Struktur Sosial Indonesia
Umum diketahui, terdapat suatu hubungan antara struktur sosial yang berkembang di suatu Negara dengan struktur kepartaian di level politik. Dapat dikatakan, struktur kepartaian merupakan “puncak gunung es”, puncak yang dibentuk dari struktur fundamen yang terdiri atas struktur sosial masyarakat. Di Eropa Barat, partai-partai komunis muncul akibat berkembangnya gerakan buruh yang dipengaruhi filsafat politik Karl Marx dan Friedrich Engels. Dalam Pemilu 2009, Partai Aceh yang notabene merupakan partai local ikut sebagai kontestan sebagai hasil kesepakatan Helsinki. Keikutsertaan partai tersebut sebagai kompensasi pergerakan GAM yang tidak lagi menuntut kemerdekaan politik dari NKRI.
Di Inggris, masyarakat terbelah menjadi 2 elemen besar : Pengusaha dan Pekerja. Para pengusaha dan kalangan konservatif bergabung ke dalam Partai Konservatif, sementara kalangan pekerja dan kalangan gerakan sosial masyarakat sipil bergabung ke dalam Partai Buruh. Sama halnya di Amerika Serikat, tatkala masyarakat mengalami bipolarisasi menjadi kalangan pro pengusaha dan pro pekerja, partai politik secara otomatis terkondisikan menjadi Partai Republik dan Partai Demokrat.
Partai politik merupakan supra struktur masyarakat, yang pertumbuhannya lebih merupakan akibat (ketimbang sebab) dari proses-proses yang bergerak di struktur basis (masyarakat). Ini pun tidak terhindarkan di Indonesia. Secara historis, Indonesia memiliki lebih dari 100-an partai. Variasi ini menandai terpolarisasinya struktur sosial yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Kendati demikian, struktur-struktur tersebut kemudian terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok besar. Ini dibuktikan dengan pilihan politik yang tumpah ke partai-partai politik yang “itu-itu” saja.
Partai politik merupakan supra struktur masyarakat, yang pertumbuhannya lebih merupakan akibat (ketimbang sebab) dari proses-proses yang bergerak di struktur basis (masyarakat). Ini pun tidak terhindarkan di Indonesia. Secara historis, Indonesia memiliki lebih dari 100-an partai. Variasi ini menandai terpolarisasinya struktur sosial yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Kendati demikian, struktur-struktur tersebut kemudian terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok besar. Ini dibuktikan dengan pilihan politik yang tumpah ke partai-partai politik yang “itu-itu” saja.
Penggolongan Masyarakat Indonesia
Nasikun menulis sejumlah penggolongan atas masyarakat Indonesia. Misalnya penggolongan berdasarkan perbedaan suku bangsa (Jawa – NonJawa), agama (Islam Santri, Islam NonSantri, Kristen, dan NonIslam Lain), pelapisan sosial (priyayi dan wong cilik), urban-rural (desa dan kota).1 Jadi, berbeda halnya dengan pemusatan bifurkasi (pembelahan) sosial ala Eropa yang lebih menekankan dimensi ekonomi, bifurkasi sosial di Indonesia selain ekonomi juga akibat perbedaan region, keyakinan, dan pelapisan sosial.
Pada demokrasi liberal pertama (1950-1959) misalnya, dapat ditelusuri kemunculan PNI selaku partai politik dari garis struktur sosial ini. PNI identik dengan kalangan priyayi Jawa, kaum borjuis local, birokrat pemerintah, dan kaum budaya Jawa. Pengaruh dari PNI merasuk melalui tokoh-tokoh masyarakat yang dekat dengan kalangan pemerintahan. Sementara itu sebaliknya, PKI muncul akibat terkonsentrasinya “apatisme” kalangan wong cilik, petani kecil, buruh, dan kalangan Islam NonSantri. Masyumi memiliki basis politiknya dari kalangan Islam Modern, Muhammadiyah, kalangan pedangan kelas menengah perkotaan. NU, di sisi lain, tumbuh dari gerakan Islam Tradisional (pesantren), penduduk Jawa, dan menganut tradisi patron klien antara kyiai-santri.
Pada demokrasi liberal pertama (1950-1959) misalnya, dapat ditelusuri kemunculan PNI selaku partai politik dari garis struktur sosial ini. PNI identik dengan kalangan priyayi Jawa, kaum borjuis local, birokrat pemerintah, dan kaum budaya Jawa. Pengaruh dari PNI merasuk melalui tokoh-tokoh masyarakat yang dekat dengan kalangan pemerintahan. Sementara itu sebaliknya, PKI muncul akibat terkonsentrasinya “apatisme” kalangan wong cilik, petani kecil, buruh, dan kalangan Islam NonSantri. Masyumi memiliki basis politiknya dari kalangan Islam Modern, Muhammadiyah, kalangan pedangan kelas menengah perkotaan. NU, di sisi lain, tumbuh dari gerakan Islam Tradisional (pesantren), penduduk Jawa, dan menganut tradisi patron klien antara kyiai-santri.
Penghubungan antara struktur sosial dengan struktur politik di Indonesia misalnya dilakukan oleh beberapa peneliti. Leo Suryadinata et.al. misalnya mengkaji perilaku pemilih dalam pemilu (selaku variable terikat) dengan variable-variabel bebas seperti agama, etnis, pendidikan, komposisi geografis, populasi migrant dan urban, pendapatan per kapita, dan kemiskinan.2 Selain Suryadinata, peneliti lain seperti R. William Liddle dan Saiful Mujani juga melakukan hal yang hampir mirip.3 Keduanya mengkaji variable-variabel seperti orientasi agama, ekonomi politik, kelas sosial, identitas etnis, rural-urban, usia dan gender.
Struktur Sosial : Agama
Lewat hasil penelitiannya, Leo Suryadinata, et.al. menggambarkan pembedaan struktur sosial masyarakat Indonesia berdasarkan agama. Sayangnya, penelitiannya hanya mengkategorikan penganutan agama Islam dan NonIslam yang tampak pada gambar di bawah ini4
Populasi penganut Islam di Indonesia secara keseluruhan >80%, sementara di pulau Jawa >95% dan di luar Pulau Jawa antara 70%-80%. Namun, jika diterapkan teori Clifford Geertz tentang “aliran”, maka di Jawa, penganut Islam dapat dibagi kembali berdasarkan aliran tradisional, modernis, dan abangan. Demikian pula halnya dengan penganut Islam di luar pulau Jawa. Penganut NonIslam dapat dibedakan kembali menurut Kristen (Protestan, Katolik), Hindu, Buddha, Konghucu, dan agama-agama local. Bifurkasi agama seperti ini diantara ditampakkan lewat anutan pilihan partai politik, antara partai agama dan partai-partai nasionalis.
Sementara sebaran anutan agama menurut provinsi diperoleh hasil sebagai berikut ini1 :
Islam menempati posisi mayoritas di hampir setiap provinsi, sementara NonIslam hanya mayoritas di provinsi-provinsi Maluku, Sulawesi Utara, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, populasi NonIslam ini pun masih terbagi ke dalam agama-agama yang cukup bervariasi.
Struktur Sosial : Etnis
Kajian struktur sosial Indonesia pun kerap mengacu pembagian Jawa – NonJawa. Jawa merupakan etnis terbanyak di Indonesia. Hal ini telah terjadi sejak masa pra Indonesia, di mana menurut sejarawan Belanda, Bernard H.M. Vlekke, merupakan dampak kemakmuran. Pulau Jawa telah menghasilkan surplus bahan makanan pokok, sehingga melakukan “outward-looking” guna mencari wilayah-wilayah baru guna ditinggali.
Selain itu, factor “cultuur-stelsel” Belanda, yang mengharuskan sistem tanam paksa produk-produk eksport ke Eropa (tebu/gula, kopi, teh) membuat lahan-lahan pertanian di Jawa menyusut, terjadi pengangguran petani, dan mendorong penduduk Jawa bermigrasi ke wilayah-wilayah lain, selain kebijakan Belanda sendiri mengangkut orang-orang Jawa guna mengerjakan tanah perkebunan di Sumatera dan Sulawesi.
Islam menempati posisi mayoritas di hampir setiap provinsi, sementara NonIslam hanya mayoritas di provinsi-provinsi Maluku, Sulawesi Utara, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Namun, populasi NonIslam ini pun masih terbagi ke dalam agama-agama yang cukup bervariasi.
Struktur Sosial : Etnis
Kajian struktur sosial Indonesia pun kerap mengacu pembagian Jawa – NonJawa. Jawa merupakan etnis terbanyak di Indonesia. Hal ini telah terjadi sejak masa pra Indonesia, di mana menurut sejarawan Belanda, Bernard H.M. Vlekke, merupakan dampak kemakmuran. Pulau Jawa telah menghasilkan surplus bahan makanan pokok, sehingga melakukan “outward-looking” guna mencari wilayah-wilayah baru guna ditinggali.
Selain itu, factor “cultuur-stelsel” Belanda, yang mengharuskan sistem tanam paksa produk-produk eksport ke Eropa (tebu/gula, kopi, teh) membuat lahan-lahan pertanian di Jawa menyusut, terjadi pengangguran petani, dan mendorong penduduk Jawa bermigrasi ke wilayah-wilayah lain, selain kebijakan Belanda sendiri mengangkut orang-orang Jawa guna mengerjakan tanah perkebunan di Sumatera dan Sulawesi.
Berikut adalah komposisi penduduk Jawa – NonJawa di tiga puluh provinsi Indonesia1 :
Lampung merupakan provinsi non pulau Jawa di mana etnis Jawa hadir selaku mayoritas dengan 68.89%. Melihat komposisi etnis Indonesia yang beragam hampir di tiap provinsi, jumlah etnis Jawa cukup memadai untuk dinyatakan eksistensinya, yaitu di atas 20.000 jiwa.
Lampung merupakan provinsi non pulau Jawa di mana etnis Jawa hadir selaku mayoritas dengan 68.89%. Melihat komposisi etnis Indonesia yang beragam hampir di tiap provinsi, jumlah etnis Jawa cukup memadai untuk dinyatakan eksistensinya, yaitu di atas 20.000 jiwa.
Struktul Sosial : Rural – Urban
Rural – Urban atau desa – kota merupakan 2 kategorisasi struktur sosial yang digunakan demi menjelaskan tema fragmentasi suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, dikotomi rural (desa) dan urban (kota) tidak simplistic diwakili Jawa – NonJawa atau Islam – NonIslam.
Terminologi urban biasanya merujuk pada wilayah dan sistem mata pencarian penduduk. Perdagangan, industrialisasi, kosmopolitanisme (etnis yang membaur unsure primordialismenya), kerja berdasar kontrak, merupakan beberapa cirri dari masyarakat urban. Sementara, masyarakat rural dicirikan dengan masih berlangsungnya sistem mata pencarian subsisten (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan), hubungan komunalistik, kepemilikan sendiri alat produksi, ataupun pembentukan institusi sosial berdasar kekerabatan.
Lewat terminology di atas, kategorisasi rural – urban tidak melulu diterapkan antara Jawa – NonJawa. Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, BanjarMasin, ataupun Surabaya dapat dimasukkan ke dalam kategori wilayah urban (kota). Sementara wilayah Gunung Kidul, Blambangan, Brebes, kendati berada di pulau Jawa masih dapat dikategorikan wilayah rural. Indonesia sendiri cukup bervariasi dalam hal wilayah rural dan urban ini. Perbedaan-perbedaan ini membuat partai-partai politik dengan berbagai isu beda dapat tumbuh di hampir aneka wilayah Indonesia.
Analisis Nasikun
Berdasarkan dikotomi struktur penduduk berdasar agama (Islam, NonIslam), etnis (Jawa, NonJawa), dan wilayah (rural-urban), Nasikun memetakan kemunculan partai-partai politik “aliran” di tahun 1955 sebagai berikut1
Islam Santri terdiri atas beberapa kategori seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, termasuk ke dalamnya Persatuan Islam (Persis), yang memiliki grassroot di kalangan masyarakat Indonesia. Sementara Islam NonSantri adalah kalangan Islam yang tidak masuk ke dalam kategori Muhammadiyah, NU, ataupun Persis. Mereka relative dekat dengan kalangan partai-partai berasas nasionalis. Sesuai namanya, kalangan nonIslam lebih dekat kepada partai-partai berhaluan Kristen.
Islam Santri yang berada di kota erat hubungan dengan tradisi urban, dengan pekerjaan berdagang, pendidik, pegawai pemerintah. Sementara Islam Santri yang berada di desa erat hubungannya dengan pesantren, pertanian, perkebunan, nelayan, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang bercorak otonom alat produksinya. Kondisi ini pun hampir sama dengan kalangan Islam NonSantri, baik di Desa (Wong Cilik) dan Kota (Priyayi).
Kota merujuk pada wilayah urban, sementara desa merujuk pada wilayah rural. Wong Cilik adalah terminology yang dirujukkan pada elemen masyarakat yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, dengan status pekerjaan yang kurang tetap dan terus dirundung masalah pemenuhan kebutuhan subsisten (pangan, sandang, papan). Sementara Priyayi merujuk pada kalangan bangsawan, berkemampuan ekonomi menengah ke atas, kalangan berpendidikan dan merupakan pejabat pemerintah.
Nasikun merupakan seorang penulis yang karya tulisnya Sistem Sosial Indonesia masih dirujuk sebagai text book mata-mata kuliah yang berhubungan dengan sistem sosial Indonesia. Kuliah ini pun akan menggunakan analisis Nasikun sehubungan dengan hubungan struktur sosial masyarakat dengan kemunculan dan pilihan partai politik di Indonesia.
Basis masyarakat Islam Santri kemudian membentuk organisasi-organisasi sosial semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini memiliki titik pertumbuhan berbeda. Muhammadiyah tumbuh di kalangan urban, sementara NU tumbuh di kalangan rural. Pada perkembangannya, wilayah urban dan rural ini tidak lagi menjadi cirri utama anggota kedua organisasi di atas.
Kota merujuk pada wilayah urban, sementara desa merujuk pada wilayah rural. Wong Cilik adalah terminology yang dirujukkan pada elemen masyarakat yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, dengan status pekerjaan yang kurang tetap dan terus dirundung masalah pemenuhan kebutuhan subsisten (pangan, sandang, papan). Sementara Priyayi merujuk pada kalangan bangsawan, berkemampuan ekonomi menengah ke atas, kalangan berpendidikan dan merupakan pejabat pemerintah.
Nasikun merupakan seorang penulis yang karya tulisnya Sistem Sosial Indonesia masih dirujuk sebagai text book mata-mata kuliah yang berhubungan dengan sistem sosial Indonesia. Kuliah ini pun akan menggunakan analisis Nasikun sehubungan dengan hubungan struktur sosial masyarakat dengan kemunculan dan pilihan partai politik di Indonesia.
Basis masyarakat Islam Santri kemudian membentuk organisasi-organisasi sosial semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini memiliki titik pertumbuhan berbeda. Muhammadiyah tumbuh di kalangan urban, sementara NU tumbuh di kalangan rural. Pada perkembangannya, wilayah urban dan rural ini tidak lagi menjadi cirri utama anggota kedua organisasi di atas.
Masyumi muncul, awalnya sebagai persatuan antara kalangan Muhammadiyah dan NU. Pada perkembangannya, Masyumi kemudian pecah dan NU keluar dari organisasi tersebut untuk kemudian membentuk Liga Muslimin Indonesia. Karakter Masyumi kemudian lebih diwarnai Muhammadiyah. Menurut Nasikun, Masyumi memiliki basis di petak nomor 7 dan 8, yaitu kalangan Islam Santri luar Pulau Jawa, baik di wilayah kota (wong cilik) dan desa (priyayi). NU berbeda, sebab ia lebih punya basis di petak nomor 2, yaitu Islam Santri Pulau Jawa di kalangan Desa (priyayi).
PNI (Partai Nasional Indonesia) memiliki basis di petak nomor 3 dan 4, yaitu di etnis Jawa, baik di wilayah desa (wong cilik) maupun kota (priyayi). PNI memperoleh competitor yaitu PKI, yang memiliki basis terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau petak 3 dan 4. Terjadi tarik-menarik antara PKI dan PNI dalam memperebutkan massa yang punya grassroot sosial sama. “Musuh” PKI, yaitu PSI (Partai Sosialis Indonesia) besar di petak nomor 9, yaitu kalangan Islam NonSantri luar pulau Jawa, dan merupakan kalangan Desa (Wong Cilik).
Sementara itu, struktur sosial yang nonIslam lebih tertuju kepada partai-partai beraliran Kristen semacam Parkindo ataupun Partai Katolik. Partai-partai jenis ini dominan di petak nomor 11 dan 12.
Kritik atas Pendekatan Nasikun
Pendekatan Nasikun, terutama dipengaruhi oleh teori Clifford Geertz tentang Religion of Java. Teori pembagian struktur masyarakat di Mojokuto ke dalam Santri, Abangan, dan Priyayi digunakan sebagai basis analisisnya atas akar hubungan struktur sosial dengan partai politik. Pendapat tersebut tidak terlampau salah oleh sebab Pemilu 1955 memang kental nuansa politik alirannya
Analisis lebih lanjut tentu saja terus dilakukan seputar hubungan antara basis struktur sosial dengan partai politik. Pasca pemilu 1999, 2004, dan 2009, analisis seperti dicontohkan Nasikun terus digunakan meski dengan kadar validitas yang semakin berkurang. Analisis aliran tepat tatkala pemilih relative emosional ketimbang rasional.
Partai-partai nasionalis, menurut analisis Nasikun, tentunya hanya berkembang di wilayah Jawa, termasuk juga kalangan Islam Santri tradisional. Sementara, persebaran penduduk beretnis Jawa (seperti sudah tersedia dalam table-tabel sebelumnya) juga tersebar di provinsi-provinsi “outer” (luar Jawa).
Salah satu bentuk “dukungan” atas analisis Nasikun antaranya ditunjukkan Andreas Ufen.1 Ufen mengujar, pemilu 1955 memang didasarkan atas politik aliran. Politik aliran ini kemudian teredam selama Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru Suharto. Pemilu 1999 kemudian memunculkannya kembali lewat sejumlah kenyataan seperti : PKB yang mewarisi NU 1955 yang berbasis jaringan di kalangan rural, pesantren, pimpinan karismatik (kyai); PDIP yang meneruskan PNI yang secular, bertahan atas karisma Sukarno; Masyumi yang diteruskan tradisinya secara terpecah oleh PPP, PAN, dan sebagian oleh PKS).
Namun, Ufen juga berujar bahwa telah terjadi “dealiranisasi”. Artinya, terjadi perubahan komposisi partai. Muncul partai-partai dengan platform yang lemah, berisukan kepentingan jangka pendek, dominasi tokoh, tiada aktivitas antar pemilu, ataupun mengandalkan koalisi jangka pendek antar partai. Munculnya partai-partai ‘gurem’, partai-partai dengan tokoh (Hanura, Gerindra, Demokrat, PBR), merupakan gejala dari ‘dealiranisasi.’
Perubahan ini pun merupakan imbas dari pola struktur masyarakat Indonesia yang tengah berubah. Perubahan cara pandang, migrasi penduduk, komposisi etnis di tiap provinsi, menaiknya tingkat pendidikan, merupakan beberapa penyebab lahirnya partai-partai baru maupun menurunnya suara partai-partai lama yang berdasarkan aliran politik.
-------------------------------------------
Referensi :
Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ‘Philippinisation’, (Hamburg: GIGA Working Paper, 2006) p.25-6.
Leo Suryadinata, et.al., Indonesian Electoral Behavior: A Statistical Perspective, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004).
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) h. 63.
R. William Liddle and Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia, (Department of Political Science, Ohio State University, tt).
DIPERLUKAN UNTUK MEMAHAMI KONDISI SOSIAL INDONESIAPerubahan ini pun merupakan imbas dari pola struktur masyarakat Indonesia yang tengah berubah. Perubahan cara pandang, migrasi penduduk, komposisi etnis di tiap provinsi, menaiknya tingkat pendidikan, merupakan beberapa penyebab lahirnya partai-partai baru maupun menurunnya suara partai-partai lama yang berdasarkan aliran politik.
-------------------------------------------
Referensi :
Andreas Ufen, Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between politik aliran and ‘Philippinisation’, (Hamburg: GIGA Working Paper, 2006) p.25-6.
Leo Suryadinata, et.al., Indonesian Electoral Behavior: A Statistical Perspective, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004).
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) h. 63.
R. William Liddle and Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia, (Department of Political Science, Ohio State University, tt).
Mengapa demikian.....??
Karena sistem sosial dan budaya masyarakat Indonesia sangat HETEROGEN secara VERTIKAL maupun HORIZONTAL Indonesia merupakan negara yang memiliki susunan masyarakat dengan ciri PLURALITAS yang tinggi
PLURALITAS MENURUT QUR’AN
Diakui oleh Al Quran - yaitu Surat Al Baqarah ayat 148 - bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Dengan keragaman dan perbedaan itu ditekankan perlunya masing-masing berlomba menuju kebaikan. Mereka semua akan dikumpulkan oleh Allah SWT pada hari akhir untuk memperoleh keputusan final.
AKIBAT HETEROGENITAS MASYARAKAT INDONESIA
Masyarakat menjadi RAWAN KONFLIK
TERKAIT DENGAN INDONESIA SEBAGAI SUATU STATE YANG TERINTEGRASI
Memunculkan 2 pertanyaan inti: 2. faktor-faktor latent apakah yang sesungguhnya telah menyebabkan terjadinya konflik?. 3. Faktor-faktor apakah yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia yang memiliki kondisi potensial konflik?.
Untuk menjawab 2 pertanyaan tersebut maka..................
HARUS MENGETAHUI DAN MEMAHAMI SISTEM SOSIAL INDONESIA
Apakah SISTEM…..?????
Konsep yang menjelaskan: Suatu kompleksitas dari saling ketergantungan antar bagianbagian,komponen-komponen, dan proses-proses yang melingkupi aturanaturan tata hubungan yang dapat dikenali. Suatu tipe serupa dari saling ketergantungan antar kompleksitas tersebut dengan lingkungan sekitarnya.
Gambar SISTEM
SISTEM HUBUNGAN SALING TERGANTUNG
SUB SISTEM
PLURALITAS MASYARAKAT INDONESIA DISEBABKAN OLEH:
KEADAAN GEOGRAFIS LETAK INDONESIA ANTARA SAMODERA INDONESIA pusat lalu lintas perdagangan dan persebaranàDAN SAMODERA PASIFIK ( berakibat plural secara regional) CURAHàagama) IKLIM YANG BERBEDA ( HUJAN DAN KESUBURAN TANAH YANG BERBEDA (PLURALITAS LINGKUNGAN EKOLOGIS)
– WETRICE CULTIVATION (pertanian sawah di Jawa dan Bali) – SHIFTING CULTIVATION (pertanian ladang di luar Jawa)
Gambar SISTEM
SISTEM HUBUNGAN SALING TERGANTUNG
SUB SISTEM
WILAYAH INDONESIA
UNTUK MEMAHAMI SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA DIPERLUKAN PENGUASAAN TEORI
Karena fungsi teori adalah memberi MAKNA terhadap REALITAS SOSIAL
DUA PENDEKATAN TEORITIS YANG HARUS DIKUASAI:
STRUKTURAL FUNGSIONAL KONFLIK DIALEKTIKA
STRUKTURAL FUNGSIONAL
Asumsi Dasar: MASYARAKAT TERINTEGRASI ATAS DASAR KATA SEPAKAT PARA ANGGOTANYA TERHADAP NILAI DASAR KEMASYARAKATAN YANG MENJADI PANUTANNYA
KESEPAKATAN MASYARAKAT tersebut
Menjadi GENERAL AGREEMENTS yang memiliki kemampuan mengatasi PERBEDAAN-PERBEDAAN PENDAPAT dan KEPENTINGAN dari para anggotanya MASYARAKAT SEBAGAI SUATU SISTEM YANG SECARA FUNGSIONAL TERINTEGRASI KEDALAM SUATU BENTUK EQUILIBRIUM
Istilah lain pendekatan STRUKTURAL FUNGSIONAL
INTEGRATION APPROACH ORDER APPROACH EQUILIBRIUM APPROACH STRUCTURAL FUNGTIONAL APPROACH
TOKOH
PLATO AUGUSTE COMTE HERBERT SPENCER EMILE DURKHEIM BRANISLAW MALINOWSKI REDCLIFFE BROWN TALCOT PARSON
ANGGAPAN DASAR THEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
Masyarakat adalah suatu SISTEM dari BAGIAN-BAGIAN yang saling BERHUBUNGAN Hubungan dalam masyarakat bersifat GANDA dan TIMBAL BALIK (SALING MEMPENGARUHI) Secara FUNDAMENTAL, SISTEM SOSIAL cenderung bergerak kearah EQUILIBRIUM dan bersifat DINAMIS DISFUNGSI/KETEGANGAN SOSIAL/ PENYIMPANGAN pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui PENYESUAIAN dan proses INSTITUSIONALISASI
ANGGAPAN DASAR THEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL (lanjutan) PERUBAHAN-PERUBAHAN dalam SISTEM SOSIAL
bersifat GRADUAL melalui PENYESUAIAN. Bukan bersifat REVOLUSIONER PERUBAHAN terjadi melalui 3 macam kemungkinan: – PENYESUAIAN SIATEM SOSIAL terhadap PERUBAHAN DARI LUAR (extra systemic change) 2. PERTUMBUHAN melalui PROSES DIFFERENSIASI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL 3. PENEMUAN BARU oleh ANGGOTA MASYARAKAT Faktor terpenting dalam INTEGRASI adalah KONSENSUS
Penilaian/kritik terhadap theori STRUKTURAL FUNGSIONAL
Terlalu menekankan anggapan dasarnya pada PERANAN UNSURUNSUR NORMATIF dari TINGKAH LAKU SOSIAL (pengaturan secara NORMATIF terhadap HASRAT seseorang untuk menjamin STABILITAS SOSIAL) (David Lockwood)
Menurut David Lockwood
Terdapat SUB STRATUM yang berupa DISPOSISI-DISPOSISI yang mengakibatkan timbulnya PERBEDAAN LIFE CHANCES (kesempatan hidup) dan KEPENTINGAN-KEPENTINGAN YANG DALAM SETIAP SITUASI SOSIAL terdapat 2 hal TIDAK NORMATIF
yaitu: TATA TERTIB yang bersifat NORMATIF SUB STRATUM yang melahirkan KONFLIK
GAMBARAN SITUASI SOSIAL MENURUT DAVID LOCKWOD
SUB STRATUM
TATA TERTIB
KENYATAAN YANG DIABAIKAN DALAM PENDEKATAN STRUKTURAL FUNGSIONAL
1. Setiap STRUKTUR SOSIAL mengandung KONFLIK dan KONTRADIKSI yang bersifat internal dan menjadi PENYEBAB PERUBAHAN 2. REAKSI suatu SISTEM SOSIAL terhadap PERUBAHAN yang datang dari luar (extra systemic change) tidak selalu bersifat Adjustive/tampak 3. Suatu SISTEM SOSIAL dalam waktu yang panjang dapat mengalami KONFLIK SOSIAL yang bersifat VISIOUS CIRCLE 4. Perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara GRADUAL melalui penyesuaian, tetapi juga dapat terjadi secara REVOLUSIONER
TEORI KONFLIK DIALEKTIKA
MEMANDANG BAHWA PERUBAHAN SOSIAL TIDAK TERJADI MELALUI PROSES PENYESUAIAN NILAI-NILAI YANG MEMBAWA PERUBAHAN, TETAPI TERJADI AKIBAT ADANYA KONFLIK YANG MENGHASILKAN KOMPROMI-KOMPROMI YANG BERBEDA DENGAN KONDISI SEMULA Tokoh: DAHRENDORF
ASUMSI DASAR TEORI KONFLIK DIALEKTIKA
1. PERUBAHAN SOSIAL merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat 2. KONFLIK dalah gejala yang melekat pada setiap masyarakat 3. SETIAP UNSUR didalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya DISINTEGRASI dan PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL 4. Setiap masyarakat terintegrasi diatas PENGUASAAN atau DOMINASI oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain
UNSUR-UNSUR yang BERTENTANGAN dalam MASYARAKAT atau KONTRADIKSI INTERN akibat PEMBAGIAN KEWENANGAN/OTORITAS yang TIDAK MERATA dapat menyebabkan terjadinya PERUBAHAN SOSIAL Contoh: REFORMASI DI INDONESIA
KONFLIK bersifat MELEKAT kepada MASYARAKAT, namun dalam kenyataannya SISTEM dalam masyarakat tetap bisa berjalan
Karena kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sudah terwakili melalui mekanisme yang “terlembaga” sehingga menghasilkan kompromikompromi baru yang diterima
Menurut DAHRENDORF
Karena adanya ASSOSIASI TERKOORDINASI secara IMPERATIV (IMPETARATIVELY COORDINATED ASSOCIATIONS/ICA) yang mewakili ORGANISASIORGANISASI yang berperan penting di dalam MASYARAKAT
ICA
Terbentuk atas HUBUNGAN-HUBUNGAN KEKUASAAN antara beberapa KELOMPOK PEMERAN KEKUASAAN YANG ADA DALAM masyarakat KEKUASAAN menunjukkan adanya faktor “PAKSAAN” oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain. Dalam ICA hubungan kekuasaan menjadi “TERSAHKAN” atau TERLEGITIMASI
Dalam ICA terdapat RULING dan RULED (pemeran yang berkuasa dan pemeran yang yang berkuasa berusaha mempertahankan STATUS QUO, yangàdikuasai) dikuasai berusaha mendapatkan STATUS QUO Terdapat DIKOTOMI antara DOMINATOR dan SUB DOMINATOR (DOMINATED GROUP dengan SUBJUGATED GROUP)
Dalam pandangan teori KONFLIK DIALEKTIKA:
KEKUASAAN (POWER) dan OTORITAS (AUTHORITY) merupakan sumber yang langka dan selalu DIPEREBUTKAN dalam sebuah IMPERATIVELY COORDINATED ASSOCIATIONS
DOMINATED
MENGUASAI LEGITIMASI
DIKUASAI
SUBJUGATED
SUBJUGATED
SUBJUGATED
SUBJUGATED
SUBJUGATED
TEORI KONFLIK DIALEKTIKA LEBIH SESUAI DENGAN REALITAS SOSIAL
DAHRENDORF dengan teori KONFLIK DIALEKTIKA berusaha menyempurnakan pendapat KARL MARX mengenai REALITAS SOSIAL
REALITAS SOSIAL
1. SISTEM SOSIAL selalu berada dalam KONFLIK yang terus menerus (CONTINUAL STATE OF CONFLICT) 2. Konflik tercipta karena KEPENTINGAN yang saling BERTENTANGAN dalam struktur sosial 3. Kepentingan yang saling bertentangan merupakan refleksi dari perbedaan dalam DISTRIBUSI KEKUASAAN antar kelompok yang MENDOMINASI dan TERDOMINASI 4. Kepentingan cenderung mempolarisasi kedalam dua kelompok kepentingan
REALITAS SOSIAL (lanjutan)
1. Konflik bersifat DIALEKTIKA (suatu konflik menciptakan suatu kepentingan yang baru, yang dibawah kondisi tertentu akan menurunkan konflik yang berikutnya) 2. Perubahan sosial adalah ciri/karakter yang selalu berada dimanapun (UBIQUITOUS FEATURE) dalam setiap sistem sosial dan akibat dari konflik. Konflik dapat diatasi oleh kekuasaan yang ICA yang dominan dapat meredam konflikàdihimpun di dalam ICA.
Dalam tinjauan KONFLIK DIALEKTIKA, suatu KEPENTINGAN bisa dinegoisasikan antar kelompok dalam ICA jika sudah menjadi KELOMPOK KEPENTINGAN yang bersifat RIIL Sehingga, Bersatunya INDIVIDU yang memiliki KEPENTINGAN yang SAMA dalam sebuah kelompok yang TERORGANISIR menjadi hal yang penting.
Kepentingan yang SAMA dari beberapa INDIVIDU, jika tidak DIORGANISASI secara FORMAL kedalam suatu KELOMPOK, merupakan KEPENTINGAN SEMU karena tidak ada yang bisa mewakili/mengatasnamakan pemilik kepentingan
PRASYARAT KELOMPOK SEMU TERORGANISIR MENJADI KELOMPOK KEPENTINGAN KONDISI TEKNIS dari suatu organisasi/ TECHNICAL CONDITIONS OF ORGANIZATIONS (sejumlah orang yang mampu mengorganisasikan dan merumuskan LATENT INTEREST menjadi MANIFEST INTEREST) KONDISI POLITIS dari suatu organisasi/ POLITICAL CONDITIONS OF ORGANIZATION (adanya KEBEBASAN POLITIK untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat) KONDISI SOSIAL bagi suatu organisasi/SOCIAL CONDITIONS OF ORGANIZATIONS (adanya SISTEM KOMUNIKASI yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah)
Skematis proses kelompok semu menjadi kelompok kepentingan
KONDISI TEKNIS KONDISI POLITIS
KELOMPOK KEPENTINGAN
KONDISI SOSIAL
Menurut penganut teori KONFLIK:
KONFLIK TIDAK BISA DILENYAPKAN, TETAPI HANYA BISA DI KENDALIKAN AGAR KONFLIK LATENT TIDAK MENJADI MANIFEST DALAM BENTUK VIOLENCE/KEKERASAN
BENTUK PENGENDALIAN KONFLIK
KONSILIASI (CONCILIATIO N) MEDIASI (MEDIATION) PERWASITAN (ARBITRATION)
KONSILIASI (CONCILIATION)
TERWUJUD MELALUI LEMBAGALEMBAGA TERTENTU YANG MEMUNGKINKAN TUMBUHNYA POLA DISKUSI DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DIANTARA FIHAK-FIHAK YANG BERKONFLIK
g an den ai k an d am laku ara Di ra-c ca
LEMBAGA-LEMBAGA berfungsi EFFEKTIF jika: Bersifat OTONOM dengan WEWENANG untuk MENGAMBIL KEPUTUSAN tanpa CAMPUR TANGAN fihak lain Kedudukan lembaga tersebut dalam masyarakt bersifat MONOPOLISTIS (hanya lembaga tersebut yang berfungsi demikian) Peran lembaga harus mampu MENGIKAT KELOMPOK KEPENTINGAN yang BERLAWANAN. Termasuk KEPUTUSANKEPUTUSAN yang di HASILKAN Harus bersifat DEMOKRATIS
PRASYARAT KELOMPOK KEPENTINGAN UNTUK KONSILIASI Masing-masing kelompok SADAR sedang BERKONFLIK Kelompok-kelompok yang berkonflik TERORGANISIR secara JELAS Setiap kelompok yang berkonflik harus PATUH pada RULE OF THE GAMES
MEDIASI (MEDIATION)
Fihak yang berkonflik sepakat menunjuk fihak KETIGA untuk memberi “nasehatnasehat” penyelesaian konflik
MENGURANGI IRASIONALITAS KELOMPOK YANG BERKONFLIK
PERWASITAN (ARBITRATION)
Dilakukan/terjadi jika fihak yang bersengketa bersepakat untuk menerima atau “terpaksa” menerima hairnya fihak ketiga yang akan memberikan “keputusan-keputusan” tertentu untuk mengurangi konflik
Jika pengendalian konflik efektif maka: KONFLIK AKAN MENJADI KEKUATAN PENDORONG TERJADINYA PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL YANG TERUS BERLANJUT
STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA
MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK
MASING-MASING SUB STRUKTUR BERJALAN DENGAN SISTEMNYA MASINGMASING
Struktur Sosial:
Suatu susunan/konfigurasi dari beberapa orang dengan kategori yang berbeda, tetapi terikat pada suatu tata hubungan kerja yang sama
Struktur sosial Hubungan kerja Beberapa orang dgn kategori yang berbeda
Jadi:
Dalam struktur sosial terdapat sistem sosial Dalam sistem sosial terdapat seperangkat kegiatan bersama yang memperlihatkan hubungan timbal balik yang disebut struktur SISTEM SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL TIDAK BISA DI PISAHKAN
STRUKTUR SOSIAL memperlihatkan suatu HUBUNGAN yang KONSTAN sebagai suatu kerangka SISTEM, memberikan SIFAT dan DINAMIKA pada STRUKTUR secara KESELURUHAN
STRUKTUR SOSIAL SISTEM
INDONESIA adalah MASYARAKAT MAJEMUK yang ditandai oleh 2 ciri unik: MAJEMUK secara HORIZONTAL MAJEMUK secara VERTIKAL
KONSEKWENSINYA adalah:
Dalam mengamati SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA serta REALITAS MASYARAKAT INDONESIA diperlukan minimal penguasaan 2 teori, yaitu; KONFLIK DIALEKTIKA dan STRUKTURAL FUNGSIONAL. KONFLIK dan KONSENSUS adalah gejala yang melekat bersama-sama di masyarakat (David Lockwood)
MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA adalah: SUATU MASYARAKAT MAJEMUK (PLURAL SOCIETIES) yang masyarakatnya terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalan SATU KESATUAN POLITIK (Furnival)
CIRI MASY. MAJEMUK INDONESIA Dalam KEHIDUPAN POLITIK, tidak ada KEHENDAK BERSAMA Dalam KEHIDUPAN EKONOMI, tidak ada PERMINTAAN SOSIAL yang DIHAYATI BERSAMA oleh seluruh elemen MASYARAKAT (common social demand)
Tidak adanya PERMINTAAN SOSIAL yang dihayati bersama, menyebabkan KARAKTER EKONOMI YANG BERBEDA. MASY. HOMOGENà MASY. MAJEMUK EKONOPMI TUNGGAL àEKONOMI MAJEMUK
Akibatnya:
Anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai KESELURUHAN, kurang memiliki HOMOGENITAS KEBUDAYAAN dan kurang memiliki DASARDASAR untuk saling memahami satu sama lain.
KARAKTERISTIK MASYARAKAT MAJEMUK (Pierre L. Van Den Berghe)
Terjadi SEGMENTASI kedalam bentuk KELOMPOK-KELOMPOK yang memiliki kebudayaan yang berbeda Memiliki STRUKTUR SOSIAL yang terbagibagi ke dalam LEMBAGA-LEMBAGA yang NON KOMPLEMENTER Kurang mengembangkan KONSENSUS antar para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar Relatif sering terjadi KONFLIK
KARAKTERISTIK MASYARAKAT MAJEMUK (lanjutan)
Secara relatif, INTEGRASI SOSIAL tumbuh diatas PAKSAAN dan saling SALING KETERGANTUNGAN DALAM BIDANG EKONOMI Adanya DOMINASI POLITIK oleh SUATU KELOMPOK atas KELOMPOK YANG LAIN KARAKTERISTIK MASYARAKAT MAJEMUK INI TIDAK BISA DIGOLONGKAN KE DALAM DUA GOLONGAN MASYARAKAT (MODERN DAN TRADISIONAL) MENURUT EMILE DURKHEIM
Terkait dengan ciri masyarakat majemuk;
Masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter. Masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki differensiasi atau spesialisasi yang tinggi
Adalah: Suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogen
MASYARAKAT YANG MEMILIKI UNIT KEKERABATAN YANG BERSIFAT SEGMENTER
MASYARAKAT YANG MEMILIKI DIFERENSIASI/SPESIALISASI TINGGI Adalah Suatu masyarakat dengan tingkat differensiasi fungsional yang tinggi dengan banyak lembaga-lembaga kemasyarakatan yang saling komplementer dan saling tergantung
Menurut Van den Berghe;
SOLIDARITAS MEKANIS DAN SOLIDARITAS ORGANIS sulit di tumbuhkan dalam MASYARAKAT MAJEMUK Karena Pengelompokan yang terjadi bersifat sesaat atas dasar kepentingan praktis
FAKTOR YANG MENGINTEGRASIKAN MASYARAKAT MAJEMUK Adanya KONSENSUS diantara sebagian besar anggota masyarakat terhadap NILAI-NILAI KEMASYARAKATAN yang bersifat fundamental Adanya berbagai masyarakat yang berasal dari BERBAGAI KESATUAN SOSIAL (cross cutting affiliations) yang akan menyebabkan terjadinya LOYALITAS GANDA (cross cutting loyalities)
Cross cutting affiliations and cross cutting loyalities
KESATUAN SOSIAL
MASYARAKAT TERINTEGRASI
KEMUNGKINAN YANG TERJADI PADA MASYARAKAT MAJEMUK
minimal ada 2 (dua) tingkatan konflik yang mungkin terjadi; KONFLIK BERSIFAT IDEOLOGIS KONFLIK BERSIFAT POLITIS
KONFLIK BERSIFAT IDEOLOGIS
Terwujud dalam bentuk konflik antara SISTEM NILAI yang DIANUT OLEH serta menjadi IDEOLOGI dari BERBAGAI KESATUAN SOSIAL
KONFLIK BERSIFAT POLITIS
Terjadi dalam bentuk PERTENTANGAN di dalam PEMBAGIAN STATUS KEKUASAAN dan SUMBER-SUMBER EKONOMI yang terbatas, diantara anggota masyarakat
Dalam situasi “KONFLIK”, masyarakat yang berselisih berusaha MENGABAIKAN DIRI dengan MEMPERKOKOH SOLIDARITAS ANGGOTA, MEMBENTUK ORGANISASI KEMASYARAKATAN untuk KESEJAHTERAAN dan PERTAHANAN BERSAMA
Faktor tersebut DIPERKUAT oleh ADANYA PAKSAAN dari SUATU KELOMPOK atau KESATUAN SOSIAL yang DOMINAN atas KELOMPOK yang LAIN
KELOMPOK PERTAHANAN
SUATU INTEGRASI SOSIAL YANG TANGGUH DAPAT BERKEMBANG APABILA SEBAGIAN BESAR ANGGOTA MASYARAKAT BANGSA BERSEPAKAT TENTANG BATASBATAS TERITORIAL DARI NEGARA SEBAGAI SUATU KEHIDUPAN POLITIK SEBAGIAN BESAR ANGGOTA MASYARAKAT BERSEPAKAT MENGENAI STRUKTUR PEMERINTAHAN DAN ATURAN-ATURAN DALAM PROSES POLITIK YANG BERLAKU BAGI SELURUH MASYARAKAT (William Liddle)
STATUS adalah suatu posisi dalam struktur sosial yang menentukan dimana seseorang menempatkan dirinya dalam suatu komunitas dan bagaimana ia diharapkan bersikap dan berhubungan dengan orang lain. PERANAN adalah pola perilaku yang diharapka dari seseorang yang mempunyai status atau posisi tertentu dalam suatu organisasi atau masyarakat
KONSEP STATUS DAN PERANAN UNTUK MELIHAT HUBUNGAN INDIVIDU DENGAN SISTEM SOSIAL
Dalam suatu SISTEM SOSIAL, individu menduduki suatu tempat (status) dan bertindak (berperan) sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem
DIFERENSIASI SOSIAL
Kalau kita memperhatikan masyarakat di sekitar kita, ada banyak sekali perbedaan-perbedaan yang kita jumpai. Perbedaan-perbedaan itu antara lain dalam agama, ras, etnis, clan (klen), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin. Perbedaan-perbedaan itu tidak dapat diklasifikasikan secara bertingkat/vertikal seperti halnya pada tingkatan dalam lapisan ekonomi, yaitu lapisan tinggi, lapisan menengah dan lapisan rendah. Perbedaan itu hanya secara horisontal. Perbedaan seperti ini dalam sosiologi dikenal dengan istilah Diferensiasi Sosial.
DIFERENSIASI SOSIAL
Diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaanperbedaan yang biasanya sama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau klasifikasi masyarakat secara horisontal, mendatar, atau sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada golongan lainnya. Pengelompokan horisontal yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis (suku bangsa), klen dan agama disebut kemajemukan sosial, sedangkan pengelompokan berasarkan perbedaan profesi dan jenis kelamin disebut heterogenitas sosial.
DIFERENSIASI SOSIAL
Bagan:
Pengelompokan Sosial Pengelompokan Horisontal Pengelompokan Vertikal
Heterogenitas sosial profesi (pekerjaan), gender
Kemajemukan sosial, ras, etnis dan agama
Ciri-ciri yang Mendasari Diferensiasi Sosial
Ciri Fisik. Diferensiasi ini terjadi karena perbedaan ciri-ciri tertentu. Misalnya : warna kulit, bentuk mata, rambut, hidung, muka, dsb. Ciri Sosia. Muncul karena perbedaan pekerjaan yang menimbulkan cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat berbeda. Termasuk didalam kategori ini adalah perbedaan peranan, prestise dan kekuasaan. Contohnya : pola perilaku
Ciri-ciri yang Mendasari Diferensiasi Sosial
Ciri Budaya. Berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan (etos). Hasil dari nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dapat kita lihat dari bahasa, kesenian, arsitektur, pakaian adat, agama, dsb.
Bentukbentuk Diferensiasi Sosial
Diferensiasi Ras. Ras adalah suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri fisik bawan yang sama. Diferensiasi ras berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri- ciri fisiknya, bukan budayanya. Diferensiasi Suku Bangsa (Etnis). Menurut Hassan Shadily MA, suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis. Diferensiasi suku bangsa merupakan penggologan manusia berdasarkan ciriciri biologis yang sama, seperti ras. Namun suku bangsa memiliki ciri-ciri paling mendasar yang lain, yaitu adanya kesamaan budaya. Suku bangsa memiliki kesamaan berikut : - ciri fisik - kesenian - bahasa daerah - adat istiadat
Diferensiasi Klen (Clan)
Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) maupun garis ibu (matrilineal).
Diferensiasi Klen (Clan)lanjutan
Klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) antara lain terdapat pada:
n n n n
Klen atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal) antara lain terdapat pada masyarakat Minangkabau, Klennya disebut suku yang merupakan gabungan dari kampuangkampuang.
Masyarakat Batak (dengan sebutan Marga) Masyarakat Minahasa (klennya disebut Fam), Masyarakat Ambon (klennya disebut Fam) Masyarakat Flores (klennya disebut Fam)
Diferensiasi Agama
Diferensiasi agama merupakan pengelompokan masyarakat berdasarkan agama/kepercayaannya. Komponen-komponen Agama: ・ Emosi keagamaan, yaitu suatu sikap yang tidak rasional yang mampu
・ menggetarkan jiwa, misalnya sikap takut bercampur percaya. Sistem keyakinan, terwujud dalam bentuk pikiran/gagasan manusia seperti keyakinan akan sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, kosmologi, masa akhirat, cincin sakti, roh nenek moyang, dewa-dewa, dan sebagainya. Upacara keagamaan, yang berupa bentuk ibadah kepada Tuhan, Dewa-dewa dan Roh Nenek Moyang. Tempat ibadah, seperti Mesjid, Gereja, Pura, Wihara, Kuil, Klenteng. Umat, yakni anggota salah satu agama yang merupakan kesatuan sosial.
・ ・ ・
Diferensiasi Agama (lanjutan)
Agama dan Masyarakat. Dalam perkembangannya agama mempengaruhi masyarakat dan demikian juga masyarakat mempengaruhi agama atau terjadi interaksi yang dinamis. Di Indonesia, kita mengenal agama Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Disamping itu berkembang pula agama atau kepercayaan lain, seperti Khong Hu Chu, Aliran Kepercayaan, Kaharingan dan Kepercayaan-kepercayaan asli lainnya.
Diferensiasi Profesi (pekerjaan)
Diferensiasi profesi merupakan pengelompokan masyarakat yang didasarkan pada jenis pekerjaan atau profesinya. Profesi biasanya berkaitan dengan suatu ketrampilan khusus. Misalnya profesi dosen memerlukan ketrampilan khusus, seperti : pandai berbicara, suka membimbing, sabar, dsb. Berdasarkan perbedaan profesi kita mengenal kelompok masyarakat berprofesi seperti guru, dokter, pedagang, buruh, pegawai negeri, tentara, dan sebagainya. Perbedaan profesi biasanya juga akan berpengaruh pada perilaku sosialnya. Contohnya, perilaku seorang guru akan berbeda dengan seorang dokter ketika keduanya melaksanakan pekerjaannya.
Diferensiasi Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan kategori dalam masyarakat yang didasarkan pada perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan biologis). Perbedaan biologis ini dapat kita lihat dari struktur organ reproduksi, bentuk tubuh, suara, dan sebagainya. Atas dasar itu, terdapat kelompok masyarakat laki-laki atau pria dan kelompok perempuan atau wanita.
Diferensiasi Asal Daerah
Diferensiasi ini merupakan pengelompokan manusia berdasarkan asal daerah atau tempat tinggalnya, desa atau kota. Terbagi menjadi:
Perbedaan orang desa dengan orang kota dapat kita temukan dalam halhal berikut ini : perilaku,tutur kata, cara berpakaian, cara menghias rumah, dsb.
masyarakat desa : kelompok orang yang tinggal di pedesaan atau berasal dari desa; masyarakat kota : kelompok orang yang tinggal di perkotaan atau berasal dari kota.
Diferensiasi Partai
Demi menampung aspirasi masyarakat untuk turut serta mengatur negara/ berkuasa, maka bermunculan banyak sekali partai. Diferensiasi partai adalah perbedaan masyarakat dalam kegiatannya mengatur kekuasaan negara, yang berupa kesatuankesatuan sosial, seazas, seideologi dan sealiran.
Industrialisasi
Industrialisasi yang terjadi saat ini telah membawa pengaruh dan dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Industri memberi mata pencaharian kepada berjuta-juta rakyat dalam bidang-bidang yang berbeda. Industri membuka peluang bagi banyak orang untuk mengembangkan kemampuannya. Industri mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya secara industri telah membentuk perilaku, sikap, gaya hidup dan bahkan nilai-nilai dalam masyarakat.
Revolusi Industri dan Munculnya Kapitalisme Industri
Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar) dan ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam-keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke-19 membuat produk mesin produksi untuk digunakan di industri lainnya.
Revolusi Industri dan Munculnya Kapitalisme Industri
Awal mulai Revolusi Industri tidak jelas tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. Tidak ada titik pemisah dengan Revolusi Industri II pada sekitar tahun 1850, ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin bakar dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik.
Dampak Revolusi Industri
Efek budayanya menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, kemudian mempengaruhi seluruh dunia. Efek dari perubahan ini di masyarakat sangat besar dan seringkali dibandingkan dengan revolusi kebudayaan pada masa Neolitikum ketika pertanian mulai dilakukan dan membentuk peradaban, menggantikan kehidupan nomadik. Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19.
Industrialisasi Di Indonesia
ERA INDUSTRIALISASI DI INDONESIA Era Industrialisasi di Indonesia: Periode Pendudukan Belanda
Perkembangan industrialisasi di Indonesia, terbagi dalam empat periode, mulai dari tanam paksa hingga berakhirnya Pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang hingga akhir Perang Dunia II, proklamasi hingga berakhirnya Orde Lama, serta masa Orde Baru hingga berakhirnya pembangunan Jangka Panjang I. Industrialisasi di Indonesia, berawal pada perkembangan industri di sektor perubahan, dan baru menjelang tahun 1900, pemerintahan Hindia Belanda saat itu mengalihkan kesektor lain. Perkembangan industrialisasi juga tidak terlepas dari peristiwa dunia, seperti ekspansi Jerman ke negara-negara Eropa, Perang Dunia I, serta Perang Asia Timur Raya.
Era Industrialisasi di Indonesia: Periode Pendudukan Jepang Kebijakan industri pada masa pendudukan Jepang beralih ke keperluan perang. Dalam masa ini dikembangkan satu kebijakan yaitu kebijakan Ekonomi Wilayah Selatan yang meliputi 2 wilayah, yaitu Hindia Belanda, Malaya, Baruto dan Filipina yang termasuk wilayah pertama, dan Indochina, dan Muangthai termasuk wilayah dua. Pada masa ini pula terjadi perubahan struktur industri, dimana pola industri dengan menghasilkan bahan baku untuk ekspor, berkembang menjadi industri pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi untuk kosumsi sendiri.
Era Industrialisasi di Indonesia: Periode 20 Tahun Indonesia Merdeka Perkembangan industri di Indonesia, penggal waktu ketiga ditandai dengan trial dan error dalam pengembangan industri. Hal ini karena bangsa Indonesia memang belum memiliki pengalaman sendiri dalam mengelola industri. Pada penggal waktu ini ditandai dengan silih bergantinya pemerintahan, sehingga industri tidak berkembang kemudian dibuat Rencana Pembangunan Lima Tahun, yang disahkan DPR pada tahun 1958 dan berlaku surut hingga 1 Januari 1956. Tahun 1957 terjadi nasionalisasi pengusaha asing yang secara tidak langsung dimulainya militer masuk dalam dunia bisnis.
Era Industrialisasi di Indonesia: Periode Orde Baru Repelita sebagai ganti dari PNSB dimulai dengan target ambisius yaitu meningkatkan hingga 50% produksi dalam waktu 5 tahun. Repelita menekankan pada industri pertanian. Masa ini terjadi dalam tahap stabilisasi dan reformasi, bimbingan dan penyuluhan, konsulidasi industri kecil, Broad Spektrum, serta pembinaan terbesar.
REPELITA
Repelita ini dibagi dalam Pembanguan Lima Tahun I hingga ke V. Pelita I ditandai dengan probahan proyek pembinaan industri kecil kerajinan rakyat. Pelita II ditandai dengan pemberian fasilitas kredit. Pelita III ditandai dengan keterkaitan industri kecil pada perekonomian nasional. Pelita IV ditandai dengan program bapak angkat dalam pemberian bahan baku. Pelita V peningkatan fungsi bapak angkat dalam pemasaran.